Majalah ekonomi terkemuka dunia yang berbasis di London
– The Economist – pekan lalu mengungkap fakta yang mengejutkan. Bahwa
di seluruh dunia ada sekitar 300 juta pemuda usia 15-24 tahun atau mewakili
sekitar 25 % pemuda dunia di rentang usia tersebut yang kini dalam status
menganggur total. Mereka tidak bekerja, tidak sekolah dan tidak sedang
menjalani pelatihan sehingga disebut NEET singkatan dari Not in
Employment, Education or Training. Bagaimana kita bisa mencegah atau mengobati
generasi pemuda yang berpenyakit NEET ini ?
NEET ini adalah penyakit yang merusak pemuda lebih dari
penyakit fisik pada umumnya. Yang dirusak oleh NEET adalah mental, karena bila
sampai pemuda mengalami NEET pada usia emas pengembangan dirinya – maka lebih
kecil kemungkinannya untuk bisa berkembang setelah melewati usia emas ini.
Penyakit ini seperti wabah yang menular dengan sangat cepat ke seluruh dunia –
maka seluruh pihak harus aware dan segera berbuat untuk mencegah
penularannya dan mengobati mereka yang telah terlanjur terjangkit.
Sebagaimana penyakit pada umumnya, untuk mencegah atau
mengobatinya kita perlu tahu apa yang menyebabkan penyakit tersebut. Menurut
majalah tersebut di atas ada tiga penyebab penyakit NEET ini, tetapi saya
sendiri mengidentifikasi setidaknya ada lima fenomena ekonomi dunia yang
menumbuh kembangkan penyakit NEET ini.
Pertama adalah Low Growth atau pertumbuhan ekonomi
yang rendah. Sejak krisis financialglobal 2008, dunia tertatih-tatih
berusaha me-recovery diri dari krisis yang belum sepenuhnya pulih hingga
kini. Dampaknya hampir di seluruh dunia terjadi pertumbuhan ekonomi yang
melamban. Pertumbuhan yang melamban membuat perusahaan-perusahaan dunia
menghentikan recruitment baru atau bahkan mengurangi tenaga kerjanya.
Walhasil pengangguran di usia pemuda meningkat 30% sejak krisis 2008 sampai
sekarang.
Kedua adalah Clogged Labor Markets atau kebuntuan
pasar tenaga kerja. Ini umumnya disebabkan oleh kombinasi penyebab pertama
dengan paradox peraturan ketenagaan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang
melamban membuat perusahaan enggan menciptakan lapangan kerja baru, sementara
peraturan pemerintah yang terlalu melindungi tenaga kerja – membuat perusahaan
sulit mempensiunkan tenaga kerja yang sudah tidak lagi produktif sekalipun.
Akibatnya perusahaan-perusahaan memilih jalan aman dengan mengoptimalkan tenaga
kerja lama dan tidak menerima tenaga kerja baru.
Ketiga adalah Education Mismatch atau ketidak
sesuaian lulusan sekolah/perguruan tinggi dengan tenaga kerja yang dibutuhkan
oleh industri. Akibatnya mirip dengan penyebab kedua, yaitu perusahaan memilih
tenaga kerja trampil yang siap pakai – yang kadang harus dibajak dari
perusahaan lain, ketimbang memilih tenaga kerja baru yang belum siap.
Keempat adalah Disruptive Innovation yaitu
inovasi-inovasi yang membuat proses produksi dan proses business berjalan lebih
efisien sehingga mengurangi tenaga kerja. Perusahaan-perusahaan di jaman ini
cenderung memilih solusi technology dengan tenaga kerja minimal
ketimbang solusi-solusi yang padat karya.
Kelima adalah Globalization dimana negara-negara
yang bisa memproduksi barang atau jasa secara efisien akan kebanjiran order
produksi sementara negara yang tidak efisien akan kebanjiran pengangguran.
Penyakit kelima ini antara lain yang akan kita hadapi dalam ASEAN
Economic Community (AEC) ketika pasar dan basis produksi tunggal
berlaku di ASEAN 2015 nanti.
Setelah kita tahu lima penyebab utama wabah penyakit NEET
tersebut di atas, maka kini tinggal mengobatinya satu per satu.
Pertama Low Growth harus bisa diubah menjadi High
Growth Economy, seluruh pihak harus fokus pada pertumbuhan ekonomi. Hentikan
kepentingan-kepentingan golongan, kelompok atau daerah. Ibarat perusahaan, di
negeri ini harus ada pemimpin yang nyinyiryang teriak sana – teriak sini
sambil terus meng-orkestrasi-kan pertumbuhan yang harmonis di seluruh sektor
dan daerah. Secara nasional harus ada pejabat-pejabat yang accountableyang
di antara KPI-nya (Key Performace Indicator) adalah pertumbuhan ekonomi
Indonesia secara menyeluruh.
Di daerah-daerah KPI para gubernur, bupati dan walikota
harus juga menyangkut pertumbuhan ekonomi di daerahnya masing-masing - mereka
harus menjadi pedal gas untuk pertumbuhan dan bukan pedal rem yang mengerem
pertumbuhan dengan berbagai peraturan yang mempersulit ekonomi tumbuh di
daerahnya.
Kedua Clogged Labor Market atau kebuntuan pasar
tenaga kerja harus dicarikan solusi yang kreatif dan inovatif – yaitu kombinasi
solusi dari sisi peraturan ketenaga kerjaan dan dorongan atau insentif agar
pekerja-pekerja yang potensi menjadi entrepreneur difasilitasi oleh
perusahaan maupun pemerintah. Ini akan menjadi solusi ganda karena posisi yang
ditinggalkan oleh mantan tenaga kerja yang menjadi entrepreneur akan
dapat diisi oleh tenaga kerja yang lebih muda, pada saat yang bersamaan entrepreneur tersebut
dapat menciptakan lapangan tenaga kerja baru bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain.
Ketiga Education Mismatch dapat diatasi bila
perguruan-perguruan tinggi dan sekolah-sekolah lebih banyak mendengar kebutuhan
industri dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Ini masalah klasik yang tidak
kunjung selesai, padahal apa sulitnya bagi para peneliti di perguruan tinggi
juga sekali-kali meneliti apa sih yang dibutuhkan industri atau pasar itu ?,
dari sini mereka harus menyesuaikan kurikulumnya agar para lulusannya lebih
siap diserap oleh pasar tenaga kerja. Di Departemen Pendidikan-pun harus ada
media untuk menilai kinerja perguruan tinggi – berdasarkan rasio keterserapan
lulusannya di pasar tenaga kerja.
Keempat Disruptive Innovation adalah seperti
pedang bermata dua, satu sisi dibutuhkan dan satu sisi lainnya membahayakan
korbannya. Maka kelahiran inovasi-inovasi baru harus diantisipasi dampaknya –
agar tidak ada yang menjadi korban, kalau toh terpaksa ada yang menjadi korban
– maka harus dicarikan solusinya untuk hal lain yang juga produktif.
Kelima Globalization harus dijadikan peluang bukan
ancaman, artinya kita harus bisa membangun kompetensi yang unggul di pasar
global – lebih unggul dari negara-negara pesaing kita. Kita harus pandai
memilih bidang-bidang apa yang kita lebih berpeluang unggul, kita harus fokus
membangun dan menajamkan keunggulan ketimbang sibuk mengatasi kelemahan.
Mengapa demikian ?
Kalau kita sibuk memperbaiki kelemahan, paling kita hanya
akan menjadi rata-rata saja karena kelemahan tertutup sementara kunggulan kita
tidak terbangun. Bila kita fokus pada keunggulan, maka kita akan unggul di
suatu sektor sementara masih ada kelemahan di sektor lain – ini tidak maslah
karena di era pasar global yang saling melengkapi kini kita bisa bermain niche dengan
satu atau dua keunggulan yang sungguh-sungguh unggul – maka itupun cukup.
Ambil contoh dalam menghadapi pasar tunggal ASEAN – AEC
2015, saya tidak menganjurkan negara kita mengikuti langkah yang ditempuh
Thailand menutupi kelemahannya dengan memaksakan rakyatnya belajar bahasa
Inggris. Kalau ini kita lakukan, akan sangat melelahkan, membuang resources yang
sangat besar baik dari sisi dana maupun waktu bagi tenaga kerja - sedangkan
hasilnya hanya akan menjadikan kita rata-rata saja. Kalau orang Indonesia semua
berhabasa Inggris-pun, kita hanya akan sama dengan Singapore, Malaysia dan
Philippine yang rakyatnya sudah lebih dahulu terbiasa berbahasa Inggris.
Bayangkan kalau effort yang sama kita pakai untuk memperbaiki
fokus petani kita pada buah atau tanaman yang kita unggulkan, memperbaiki tata
guna lahan kita sehingga tidak ada lagi lahan di negeri ini yang ditelantarkan.
Maka betapa banyak tenaga muda negeri ini yang akan terserap untuk
intensifikasi penggarapan lahan-lahan pertanian kita tersebut. Bisa dibayangkan
pula betapa banyak produksi hasil bumi yang akan bisa kita hasilkan. Maka
keunggulan dalam menyerap tenaga kerja sekaligus memproduksi hasil bumi ini –
akan menjadi keunggulan unique negeri ini yang tidak dimiliki oleh
negara-negara lain di ASEAN atau bahkan di dunia.
Intinya kita punya sumber daya internal untuk bisa mencegah
mewabahnya penyakit NEET itu di negeri ini, meskipun tentu saja ini tidak akan
mudah. Setidaknya kita harus mulai menyadarinya bahwa ada penyakit yang
mengancam generasi muda kita – kemudian dengan kerja keras, kerja cerdas dan
mengandalkan petunjukNya semata – maka insyaAllah kita akan bisa menjadi bangsa
yang unggul, dimana pemudanya adalah asset dan bukan liability.
Bagi para pemuda, agar diri Anda sungguh-sungguh menjadi
Asset bagi umat dan bagi keluarga Anda, hindarkan diri Anda semaksimal mungkin
dari penyakit NEET ini. Bagaimana caranya ?, bekerjalah dengan apa saja yang
Anda bisa – sejauh tidak melanggar hukum negara apalagi hukum agama. Jangan
biarkan ijazah Anda justru membelenggu tangan Anda untuk mulai bekerja, umat
dan bangsa ini menunggu karya Anda !.
Sumber: Geraidinar
Sumber: Geraidinar
0 komentar:
Posting Komentar